Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Cerpen


Kaleng Kecil yang Tertinggal        
   Setiap hari aku berjalan menyusuri pusat keramaian. Membawa botol kosong dengan pakaian apa adanya. Kaleng kecil sisa air minum yang selalu menemaniku berjalan dibawah teriknya sang surya. Uang koin yang bagi sebagian besar orang tak ada artinya tapi buatku adalah hidupku. Tanpa uang itu aku tak bisa menjalani kehidupan yang kata orang hidup itu berputar. Aku terlahir dari seorang keluarga miskin yang tidak pernah sama sekali mengenyam bangku pendidikan. Usiaku masih sangat belia, tidak mungkin untukku bisa bekerja. Tenagaku masih sangat diremehkan orang. Usia dimana seharusnya bisa menari, bernyanyi dan bergembira ria tanpa ada beban.
Nak, ayo ganti baju’ suara ibuku yang selalu tulus menyayangiku. ‘Iya Bu, saya sudah ganti baju ibu tunggu saya di depan’ jawabku dengan  suara lembut. Rasanya aku tak ingin beranjak dari rumahku yang terbuat dari sisa-sisa kardus, saat hujan basah dan panas pengap. Aku rasa hampir putus asa dengan takdir Tuhan yang katanya adil, tetapi aku belum pernah merasakannya. Usiaku masih sangat kecil untuk mengerti arti kehidupan ini, tapi kerasnya kehidupan sejak aku lahir membuatku mengerti betapa susahnya hidup keluargaku ini. Aku mempunyai banyak cita-cita untuk membuat semua ini berubah. Tersadar dari lamunanku aku langsung keluar rumah karena ibu telah menungguku.
            ‘Naik Nak, bapakmu sudah berangkat. Ia harus segera berangkat karena harus berebut dengan yang lain’ kata ibu. Tanpa berpikir apapun aku naik gerobak sampah yang biasa ibu pakai untuk memulung. Ibu menarik gerobak yang menurutku itu sangat berat. Sampai pada pusat keramaian, ibu berkata padaku “Nak, turunlah! Ibu minta maaf jika harus menyuruhmu untuk seperti ini, tapi ini adalah jalan satu-satunya, ibu yakin suatu saat nanti kamu kan mengerti nak. Bawa kalengnya!”. Setiap ibu menurunkan dari gerobak sampahnya beliau selalu berkata demikian. Terkadang aku juga bingung maksud ibu apa? Tapi aku menuruti saja apa kata ibu. Aku turun dan mencium tangan ibu dan aku langsung berlari darinya. Dari kejauhan kulihat wajah ibu menangis dengan melambaikan tangan padaku. Aku hanya melihatnya tanpa berfikir apa maksud ibu, aku belum mampu menangkap semuanya.
            ‘Bu, minta bu….’ Dengan kaleng yang ku sodorkan pada seorang ibu-ibu yang sedang membawa barang belanjaannya. Matanya sama sekali tidak ada respon untukku. Aku berdiri dibelakangnya dengan menyodorkan  kalengku. Aku cukup lama menunggunya dengan harapan dia akan memberikan recehnya untukku.
            ‘Orang tua kamu mana? Masih kecil sudah di ajarin ngemis? Apa bapak ibumu tidak tau mendidik anak? Kalau tak bisa mendidik anak kenapa punya anak ?’ kata si ibu dengan suara yang lantang dan kasar. Orang sekelilingpun memandangku dengan iba, aku tak hiraukan mereka, aku langsung pergi meninggalkan mereka. Aku berlari meningalkan tempat itu dengan tatapan hampa. Aku menangis di sudut keramaian itu. Orang-orang sekeliling hanya melihatku. Terdengar suara koin yang jatuh kedalam kalengku. Aku perlahan membuka mata dan aku lihat seorang wanita separuh baya dengan senyum manisnya berkata padaku ‘Dik, kenapa adik menangis ?’ tanyanya dengan lembut bagaikan malaikat yang datang untuk menghiburku. Namaku Alin bu, tadi saya di bentak-bentak sama ibu-ibu yang ada disana’ jawabku dengan sedikit tersendat-sendat karena tangis. ‘Adik kecil yang cantik, mungkin ibu itu sedang emosi, wajar seperti itu, sudahlah lupakan saja, adik mau jajan, ice cream ?’ jawabnya dengan amat lembut, lebih lembut dari pada ibuku. Sebelum aku menjawabnya dia sudah menggandengku pergi dengan meninggalkan kaleng kecilku, dia mengajakku ke sebuah toko dengan penuh jajan, ice cream yang selalu aku lihat saat aku melewati toko tersebut. Saat aku meminta kepada ibu, ibu selalu bilang suatu saat kamu pasti bisa membelinya, tetapi tidak sekarang. ‘Dik, jangan diam saja, adik bingung?, silahkan ambil sesuka adik. Adik bisa ambil yang adik mau’ katanya. Hatikupun gembira ria tanpa ada rasa yang menyayatnya kembali. Aku bingung jajan mana yang aku inginkan. Semua terlalu asing buatku. Aku hanya berpikir betapa baiknya orang ini.
Bu, bolehkah aku ambil yang ini ?’kataku. ‘O.. iya dik, silahkan ambil!’, jawabnya. Akupun mengambil sebuah jajan yang harganya tak seberapa. Setelah jajan itu terbayar, aku dan dia pun keluar dari toko itu. Ibu itu menanyai banyak pertanyaan kepada saya, walaupun saya hanya menjawabnya sepatah dua patah kata. Ibu itu bercerita sesuatu yang membuatku sedih, aku melihatnya menitikkan air mata saat beliau berkata padaku.
‘Dik, 3 tahun lalu saya pernah mempunyai anak. Kalo dia masih ada mungkin usianya sebaya dengan adik, dia meninggal karena kecelakaan. Waktu itu saya,dia dan suami saya pergi berlibur untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke-3. Sampai di tengah jalan, mobil yang kami tumpangi tiba-tiba di tubruk bus dari arah belakang’. Bu, jangan menangis…!’kataku. Iya Dik, maafkan saya’ katanya sambil mengelus-elus rambutku. ‘Ibu adik mana ?’tanyanya. ‘Ibu saya biasanya memulung sampah disekitar sini Bu’.jawabku.
Ibu itu pun membawa saya kerumahnya. Rumah cat putih dengan desaign mewah itu tampak sepi sekali, hanya ada beberapa pot bunga dan sebuah pohon besar. Tanpa basa-basi ibu itu pun mengajakku masuk kerumahnya, dia mengajakku bermain layaknya seperti anaknya sendiri. Tak terasa waktu telah menunjukkan jam 4 sore, biasanya sore-sore seperti ini, ibu saya sudah menunggu saya di perempatan biasanya.
Bu, tolong antarkan saya ke perempatan Bu, mungkin ibu sudah menunggu saya’ kataku. Oh.. iya Dik, mari saya antarkan’ jawabnya dengan ramah. Di jalan menuju perempatan kulihat ibu sudah menunggu saya dengan membawa gerobak sampahnya.
Ibu..’teriakku. Ibu tidak membalasnya namun hanya tersenyum. Aku berlari kepadanya. ‘Ini siapa Nak ?’tanyanya. ‘Ini ibu Sifa bu, beliau menolong saya waktu saya dibentak-bentak orang’ jawabku. ‘Trima kasih Bu, sudah menolong anak saya, semoga Tuhan membalas kebaikan ibu’ kata ibu kepada tante Sifa. Sama-sama Bu..!’jawabnya. Ibupun berpamitan kepada tante Sifa dan kamipun pulang. Kulihat tante Sifa juga pergi meniggalkan perempatan itu. Dan buatku hari ini adalah hari paling terindah, aku tidak berjuang melawan panas, hujan bahkan cercaan orang. Tapi aku harus sadar, esok hari aku juga harus melakukan kegiatanku seperti biasa. Bagaimanapun kita harus bersyukur atas semua ini, itu kata ibu.
Seminggu telah berlalu, hari ini aku heran sekali kepada ibu, ibu mengantarkanku di rumah tante Sifa. Ibu hanya berkata, ‘Tinggallah disini nak, nanti kalau kamu jadi orang yang sukses jangan kamu lupakan ibumu yang telah melahirkanmu walaupun ibu tidak pernah bisa membahagiakanmu’. Aku pun hanya diam seribu bahasa, tante Sifa menggendongku masuk kedalam rumahnya, dan ibupun pergi bersama gerobak sampahnya. Seperti yang ku kenal sebelumnya, tante Sifa begitu baik padaku, dia berkata padaku, ‘Panggilah aku Ibu Dik, saya tau saya memang bukan ibumu, dan saya tidak bermaksud untuk mengambil kamu dari ibu kamu, nanti kamu akan saya didik sebagaimana anak saya sendiri dik, kamu bisa sekolah, bermain, punya banyak teman’ katanya. Aku pun gembira karena aku bisa sekolah, tapi aku juga sedih saat aku harus tinggal tidak bersama ibu lagi.
            Hari demi hari hidupku berlanjut dengan kehidupan bu Sifa dan om Darma, suaminya juga tidak kalah baik dengannya. Mereka menganggapku seperti anak sendiri, mereka menyayangiku tulus. Aku mempunyai banyak teman, bersekolah dan bergaul dengan banyak orang. Awalnya memang terasa kaku dengan kehidupanku yang serba baru, tapi aku juga harus mengerti bahwa ini adalah impianku. Aku menginginkan bagaimana seorang anak seharusnya tanpa aku bermaksud melupakan ibu kandungku.
 Terkadang mengingat orang tuaku yang sedang memulung, hati ini tersayat sekali oleh pedih, orang yang telah susah payah melahirkanku aku tinggalkan demi diriku sendiri. Janji untuk selalu dapat membahagiakannya selalu aku tanamkan kepada mereka meskipun mereka mungkin tak bisa membawaku ke dalam kebahagiaan yang seperti sekarang.
15 tahun telah berlalu, tidak terasa usiaku sudah 22 tahun. Sekarang aku telah menjadi seorang dokter. Aku senang karena cita-citaku dapat tercapai. 15 tahun sudah aku meninggalkan rumah ibuku. Tapi tante Sifa sering mengajakku kerumah ibu, jadi aku tidak merasa tersiksa walaupun aku tinggal bersama tante Sifa. Terkadang kami berkumpul untuk sekedar makan malam dirumah tante Sifa. Seperti kata ibu dulu, ketika aku menjadi orang yang sukses aku tidak boleh melupakan ibu kandungku. Tante Sifa pun mengerti dengan keadaan ini.
Hari ini aku, aku berjalan sendiri ke rumah ibu atas izin tante Sifa. Rumah berukuran 4x5m dengan dinding dari kardus itu tetap berdiri agak miring dengan keadaan yang sama disekeliling. Tampak dari kejauhan wanita separuh baya berjalan menuju rumah itu dengan menggeret gerobak sampah tua warna biru. Bajunya yang kusam tak membuat wajah wibawanya menghilang. Wanita itu berhenti tepat didepan rumahnya dengan mengusap keringatnya.
‘Bu, … kangen sama Ibu, maafkan kesalahan Alin.. kalo ..banyak salah sama Ibu, sekarang .. sudah menjadi dokter Bu’ kataku sambil bersujud pada ibu. Ibuku pun kaget sekali karena sudah hampir 2 tahun aku tidak menjenguk ibu karena aku harus melanjutkan sekolahku di luar kota. Nak, bangunlah! Ibu bangga dengan kamu nak, akhirnya impianmu tercapai’ jawab ibu sambil meneteskan air matanya. Ketika aku bertanya kepada ibu untuk aku ajak pindah, ibu menolaknya. Ibu hanya berpesan kepadaku ‘jangan lupakan ibu’.
Akhirnya, 22 tahun berlalu baru aku  menyadari betapa agung kekuasaan Allah SWT. Dia tidak pernah lupa dengan makhluk ciptaan-Nya. Dia begitu adil. Terima kasih Ya Allah. Terima kasih untuk ibu… yang selalu mendoakan …dengan tulus. Terima kasih kepada tante Sifa dan Om Darma yang telah berjuang membesarkan saya hingga saya dewasa, aku yakin Allah pasti membalas kebaikan kalian.

PUTRI AMBAR SARI / X-RMBI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: